FENOMENA PERLAWANAN MUSIMAN

 

FENOMENA PERLAWANAN MUSIMAN


Ketegangan kembali terjadi antara Palestina dan Israel beberapa hari belakangan ini. Ratusan warga sipil Palestina maupun Israel meninggal dunia. Tentu dunia bereaksi dengan kejadian tersebut, tak terkecuali masyarakat Indonesia. Mayoritas warga Indonesia yang notabenenya adalah penduduk muslim terbesar di dunia serta karena alasan historis dan kekerabatan dengan Palestina menimbulkan reaksi yang cukup besar di sosial media.

 

Beragam dukungan di tunjukkan untuk Palestina, mulai dari ungkapan yang mengandung doa, foto dan video kekerasan yang dilakukan oleh Israel, penggalangan dana, mengganti foto profil seluruh sosial medianya dengan bendera Palestina, atau bahkan mungkin ada yang melakukan aksi solidaritas berupa penyampaian pendapat dimuka umum.

 

Tanpa bermaksud merendahkan upaya-upaya yang dilakukan oleh kawan kawan semua. Saya melihat fenomena semacam ini sebagai sebuah bentuk perlawanan musiman yang akan terus terulang. Mari kita bahas secara tuntas agar tidak terjadi kesalahpahaman.

 

Belum lekang di ingatan kita tentang berbagai kejadian yang mewarnai sosial media kita beberapa tahun belakangan, misalnya penolakan UU cipta kerja, UU minerba dan RUU PSK, bencana banjir di Kalimantan Selatan, perlakuan diskriminatif BWF kepada timnas bulu tangkis Indonesia, penghapusan limbah batu bara dari kategori limbah B3 (bahan berbahaya beracun).

 

Semua kejadian tersebut mendapatkan sorotan, perlawanan dan berbagai reaksi dari warga net di Indonesia. Tindakannya hampir serupa dengan yang saat ini juga terjadi atas respon kejadian di Palestina. Lalu, mengapa saya menyebut ini sebagai perlawanan musiman?

 

Ya, ini adalah perlawanan musiman. Warga net cenderung baru bereaksi setelah terjadi sebuah "kejadian". Banjir yang terjadi di Kalimantan Selatan contohnya. Pada saat itu ramai semua warga net menjadi "aktivis lingkungan" dadakan. Pemberi izin, pemilik tambang, mafia dan pelaku perusak lingkungan tentu gentar ketika isu tersebut diperbincangkan di sosial media.

 

Lalu bagaimana kondisinya sekarang? semua seolah lupa ingatan tentang peristiwa banjir terbesar dalam sejarah Kalimantan Selatan tersebut. Mereka yang punya tambang, mereka yang menebang pohon di hutan secara ilegal, mereka yang terus mengeruk sumber daya alam secara berlebihan, telah bisa bekerja dengan tenang (kembali), setelah di perbincangkan habis-habisan saat peristiwa banjir terjadi.

 

Polanya bisa kita temukan. Saat ada peristiwa yang menarik perhatian masyarakat dan mulai diperbincangkan secara masif, para pelaku cenderung hanya diam dan seolah menyesali perbuatannya. Ini dilakukan sebagai bentuk upaya cuci tangan dan menenangkan kemarahan publik. Saat tak lagi ramai di perbincangkan, mereka akan kembali ke watak semula.

 

Tak heran jika banjir nantinya akan terus terjadi setiap musim hujan datang. Dan saat musimnya telah tiba, maka akan kembali muncul "aktivis lingkungan" untuk menyuarakan hal tersebut. Padahal kita punya waktu di musim kemarau untuk terus berupaya mengawal berbagai kebijakan dan mencegah berbagai hal yang dapat menyebabkan banjir tersebut. Yang perlu kita lakukan adalah konsisten untuk menyuarakan isu tersebut. Bukan hanya saat sudah terlanjur ada kejadian baru semuanya bereaksi.

 

Begitu pula isu tentang Palestina, yang mana disetiap ada ketegangan baru seluruh masyarakat bereaksi. Namun saat ketegangan mulai mereda, semuanya tak lagi fokus pada perjuangan rakyat Palestina. Hal serupa juga bisa kita temukan pada polemik dan penolakan UU cipta kerja, UU minerba, RUU PKS, perlakuan diskriminatif BWF kepada timnas bulu tangkis Indonesia, penghapusan limbah batu bara dari kategori limbah B3 (bahan berbahaya beracun). Ini semua perlu kita suarakan setiap hari, setiap jam, setiap menit, setiap detik; bukan hanya sebagai perlawanan musiman yang akan terus terulang disetiap ada kejadian. Jangan biarkan para korban, kelompok, komunitas dan lembaga masyarakat melawan ini sendirian. Semuanya bagaikan hangus dimakan waktu, dan akan kembali di perbincangkan saat kejadian serupa terulang.


Sampai sini sudah paham, mengapa saya menyebut ini sebagai perlawanan musiman? Jika belum, mari kita diskusikan lagi opini saya ini sambil nyeruput kopi sachetan dan ditemani podcast yang narasumbernya Aldi Taher.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BIOGRAFI KH. ILHAM HUMAIDI (MAJELIS AS-SHOFA)

MK. Belajar dan Pembelajaran - Program Studi Teknologi Pendidikan FKIP ULM