Perayaan 3 Tahun Sapakawanan Project: Refleksi Perjalanan Panjang dan Kritik yang Tak Pernah Usang
Perayaan 3 Tahun Sapakawanan Project: Refleksi Perjalanan
Panjang dan Kritik yang Tak Pernah Usang
Oleh: M. Rizal
(Partisan dan Simpatisan
Sapakawanan Project)
Sapakawanan
Project adalah sebuah komunitas/kelompok/perkumpulan/production
house/organisasi/perhimpunan/perserikatan dan apalah itu namanya. Memang
mengherankan dan sedikit membingungkan ketika ada pertanyaan terkait apa itu
sebenarnya Sapakawanan Project. Acap kali dengan ketidakjelasan organisasi ini
menimbulkan siapa pun yang disodorkan pertanyaan semacam ini akan menjawab
dengan jawaban yang beragam. Setidaknya itu hal yang penulis amati dalam
beberapa diskusi film, baik dalam pemutaran alternatif maupun festival film.
Sungguh
kalimat pembuka yang cukup kejam, mengatakan bahwa Sapakawanan Project ini
sulit dideskripsikan. Sehingga banyak anggota atau yang merasa dirinya bagian
dari Sapakawanan Project ini menggunakan terminologi-terminologi yang hanya
mereka pahami sendiri. Tak ada yang jelas, memang sangat tidak jelas.
Ketidakjelasan ini juga terlihat dalam perayaan tiga tahun Sapakawanan Project
pada 10 November 2021 ini. Tak ada tanggal pasti penetapan kapan Sapakawanan
Project berdiri, lagi-lagi bisa penulis katakan bahwa hal-hal semacam ini
kemudian bisa dipahami sesuai dengan pemahaman dan pengetahuannya masing
masing.
Minggu,
10 November 2018 adalah hari dimana Sapakawanan Project melakukan pengambilan
gambar pertama untuk film perdananya yang berjudul “Utas Jagau” yang
disutradarai oleh Muhammad Adi Saputra. Dengan momentum demikian kemudian
penulis berasumsi bahwa Sapakawanan Project resmi berdiri pada saat itu.
Mengherankan memang, karena lagi-lagi semuanya masih tidak jelas. Tanggal
tersebut juga penulis pilih karena begitu mudah diingat. Ya, bertepatan dengan
hari pahlawan. Harapannya tentu dengan peringatan yang dilaksanakan secara
berbarengan tersebut, Sapakawanan Project dapat menjadi wadah untuk melahirkan
“pahlawan” untuk mewujudkan ekosistem perfilman yang lebih baik di Kalimantan
Selatan. Wah, mohon maaf kalau tujuannya terkesan terlalu besar dan ambisius.
Kita doakan saja.
Melalui momentum tiga tahun Sapakawanan Project ini, dalam hemat penulis melihat beberapa permasalahan yang harus segera dibenahi oleh para partisan dan simpatisannya. Ya, partisan dan simpatisannya, sebab jika menggunakan terminologi “anggota/pengurus” rasa-rasanya masing tidak tepat digunakan pada Sapakawanan Project yang masih belum jelas bentuknya. Berikut beberapa permasalahan yang harus segera dibenahi oleh Sapakawanan Project.
1. Transformasi Keanggotaan
Hal
ini masih menjadi isu yang penting untuk terus digaungkan. Permasalahan
transformasi keanggotaan sampai saat ini masih menjadi persoalan yang harus
segera dicarikan solusinya bersama. Meskipun sudah cukup sering untuk
diusulkan, namun sangat disayangkan hal ini masih menjadi wacana dan menguap
begitu saja. Setidaknya dalam hemat saya, terdapat dua golongan yang saat ini
ada ditubuh Sapakawanan Project. Dua golongan yang dimaksud adalah golongan
keanggotaan “jamiyyah” dan golongan keanggotaan “jamaah”.
Dua
terminologi tersebut sebenarnya dipakai oleh KH. Muchit Muzadi dalam melihat
dualisme wajah NU. Meskipun demikian, nyatanya terminologi tersebut masing
cukup relevan jika digunakan dalam konteks Sapakawanan Project ini. Dua
terminologi tersebut ternyata memiliki perbedaan yang cukup fundamental. Jika
pada terminologi pertama yaitu golongan keanggotaan “jamiyyah” lebih
merujuk pada mekanisme organisatoris
yang berdiri diatas kedisiplinan. Sedangkan terminologi keanggotaan “jamaah”
bisa dipahami sebagai sifat yang kolosalis dan hanya berbekal kesamaan
identitas atau pernah tergabung dalam sebuah produksi film yang sama.
Masalah itulah yang kemudian menurut hemat penulis, menjadikan Sapakawanan Project tak kunjung menjadi jelas. Berapa jumlah pasti anggotanya, bagaimana sistem organisasinya, siapa ketuanya, dan seterusnya. Data yang selama ini digunakan hanya cenderung merujuk pada perkiraan saja, mereka yang “merasa dan atau dirasa” bagian dari Sapakawanan Project. Dalam pengertian yang lebih modern dan sederhana, maka dapat penulis sampaikan bahwa istilah Sapakawanan Project kultural dan Sapakawanan Project struktural dapat menggambarkan atau mewakili terminologi yang sudah dijelaskan sebelumnya.
2.
Watak Kemandirian
Masalah
kedua yang masih menjangkiti Sapakawanan Project hingga detik ini adalah
persoalan watak kemandirian dalam memproduksi sebuah karya. Diakui ataupun
tidak, Sapakawanan Project jelas tidak memiliki kemandirian dalam produksi,
semua masih tergantung oleh dukungan peralatan dan pendanaan oleh sekolah. Hal
ini kemudian jika terus dilanjutkan akan menjadi tradisi buruk dan para
partisan dan simpatisannya selalu bergantung pada sekolah.
Jika
kita cermati secara detail sebenarnya seluruh film karya Sapakawanan Project
dibuat dan ditujukan untuk mengikuti berbagai lomba dan festival film. Mulai
dari Utas Jagau yang dibuat untuk mengikuti Aruh Film Kalimantan 2018, Bacakut
Pandir untuk Festival dan Lomba Seni Siswa Nasional 2019, Utab Dibalik Batu
untuk Festival Film Pendek Berbahasa Daerah, Bunyi Banyu untuk Gelar Karya Film
Pelajar, Saraba Onlen untuk Banua CovFight Competition, Dalam Rumah dan Maggots
untuk Festival dan Lomba Seni Siswa Nasional 2020, dan yang paling terbaru
yaitu Renjana dan Ulahan Ulin yang juga dibuat untuk Festival dan Lomba Seni
Siswa Nasional 2021.
Fakta yang tak terbantahkan ini kemudian dalam hemat penulis sendiri membuat seluruh partisan dan simpatisan menjadi tidak mandiri dan begitu tergantung terhadap sekolah, khususnya pendanaan. Selain film Utas Jagau, nyatanya seluruh film lainnya menggunakan dana yang diberikan oleh sekolah dengan nominal yang cukup besar (besar dalam konteks hanya biaya produksi lainnya diluar sewa peralatan yang menggunakan alat dari sekolah). Sapakawanan Project seharusnya belajar dari “adiknya” Share Project yang diisi oleh para pelajar dari berbagai sekolah dalam hal kemandirian berproduksi dan memproduksi karya. Penulis sangat mengapresiasi segala hal yang telah dilakukan oleh Share Project dalam konteks kemandiriannya dalam memproduksi sebuah karya. Memang benar, jika sesuatu dikerjakan dengan hati dan kerjasama, maka akan mudah dilalui meskipun jalan terjal terus menghantui. Share Project luar biasa!
Memang benar jika kemudian ada yang berkomentar bahwa film yang diproduksi berangkat dari sebuah “keresahan” atau apapun itu namanya. Namun hal ini menjadi salah ketika keresahan tersebut hanya ditumbuhkan saat ada perlombaan atau festival film semata. Singkatnya bisa penulis sampaikan bahwa keresahan yang ada di dalam partisan dan simpatisan Sapakawanan Project harus terus dilatih dan tidak sekedar tumbuh ketika menjelang penyelenggaraan event tertentu. Kedepannya sebagai seorang yang pernah dan mungkin masih menjadi bagian dari Spakawanan Project ini, penulis ingin melihat Sapakawanan Project memproduksi sebuah karya tanpa harus terikat dengan tuntutan dari event tertentu.
3. Transparansi
dan Pengelolaan Dana
Permasalahan
transparansi dan pengelolaan dana juga dirasa masih jauh dari kata sempurna.
Sapakawanan Project yang selanjutnya disingkat menjadi SP ini kerap kali
berhasil menorehkan prestasi dalam berbagai ajang di tingkat provinsi, nasional
dan bahkan internasional (Bacakut Pandiri di JAFF dan Bunyi Banyu di FFD).
Tentu dengan raihan prestasi ini memberikan berbagai benefit terhadap SP
sendiri, mulai dari kesempatan berdiskusi dan berjejaring, mendapatkan
pengakuan dan apresiasi dari sineas lain, sertifikat dan trophy penghargaan,
bahkan sampai pada uang pembinaan.
Bicara
mengenai “duit” memang agak sedikit sensitif, meskipun demikian hal ini tentu
merupakan hal yang wajar untuk dibahas dan dituntut bagaimana transparansi dan
pengelolaan dana tersebut. Sebagai contoh misalnya, penulis pernah dikirim uang
pembinaan oleh Riri Riza yang menjadi salah satu juri dalam UCIFEST 2020 atas
penghargaan khusus spesial juri yang diraih SP pada festival tersebut. Kemudian
penulis pernah beberapa kali ingin menyerahkan uang tersebut kepada para pihak
yang bisa dikatakan masuk dalam tim manajemen maupun distribusi film. Hingga
hari ini uang tersebut masih ada ditangan penulis dan tidak jelas akan
diapakan.
Contoh
diatas hanya satu dari contoh-contoh lainnya yang terjadi pada SP. Hal lainnya
bisa kita lihat dari uang yang didapatkan oleh SP melalui film Bacakut Pandir
yang masuk dalam platform Genflix, meskipun tak seberapa tentu hal tersebut
juga harus terus dilaporkan kemana aliran dana dan bagaimana pemanfaatannya.
Belum lagi kegiatan lomba atau festival film lainnya yang memberikan uang
pembinaan untuk SP.
Dalam
beberapa kasus, penulis memang mengetahui bagaimana aliran dan pemanfaatan uang
pembinaan yang diterima oleh SP, salah satu pemanfaatannya yaitu dengan
menutupi kekurang biaya produksi yang diberikan oleh sekolah, biaya untuk
proses perbaikan pada meja editing, menonton film bersama di bioskop,
mengadakan syukuran dan doa bersama. Selebihnya penulis kurang mengetahui
bagaimana aliran dan pemanfaatan dana tersebut.
Sebenarnya permasalahan ini timbul karena efek domino dari permasalahan pertama dan kedua diatas. Dengan tidak adanya struktur organisasi yang jelas membuat apa yang dilakukan oleh SP terkesan tumpang-tindih dan lempar tanggung jawab. Selain itu pemanfaatan dana yang tepat sebenarnya menjadi salah satu solusi atas permasalahan yang kedua menyangkut kemandirian anggota. Dengan demikian, bisa kita bayangkan jika dua permasalahan diatas dapat diselesaikan dengan baik, maka tentu permasalahan transparansi dan pengelolaan dana ini akan lebih mudah untuk diselesaikan.
4.
Kaderisasi dan Edukasi Keanggotaan
Dikarenakan
masalah keanggotaan yang tidak jelas, maka proses kaderisasi dan edukasi
keanggotaan yang sebenarnya menjadi hal yang sangat fundamental menjadi hal
yang belum bisa terwujud hingga sekarang. Kaderisasi dan edukasi yang terjadi
di SP selama ini hanya terjadi sesaat sebelum produksi. Layaknya seorang kakak
yang membimbing adiknya, maupun dengan menjadi asisten sang master dalam debut
pertamanya. Akmal misalnya yang menjadi boomer di film Utas Jagau yang kemudian
pada produksi kedua “naik level” menjadi sound recordist. Atau Dini yang menjadi
astrada di film Saraba Onlen dan kemudian juga “meng upgrate” diri menjadi
sutradara pada film Renjana yang baru-baru ini menjadi perwakilan Kalimantan Selatan
dalam bidang lomba film pendek fiksi FLS2N 2021.
Semua berjalan secara alami dan organik. Sebab jelas, karena SP tak punya organisasi yang jelas. Sehingga berakibat pada proses kaderisasi dan edukasi berjalan lamban dan bersifat transdental. Meskipun benar bahwa pendidikan dalam arti luas tak hanya terbatas pada ruang-ruang kelas, namun nyatanya dengan adanya program atau wadah edukasi yang dilakukan secara reguler dapat dijadikan alat untuk mencapai tujuan yang ingin dicapai. Tak perlu terlalu formal, cukup dengan diskusi dan berbagi serta merekognisi pemahaman-pemahaman yang sudah ada. Jika benar diberikan pemantapan dan jika salah diberikan jawaban yang benar. Tak perlu juga ada pendekatan, strategi, metode, teknik, taktik dan model pembelajaran, hanya cukup “berkumpul dan berdiskusi” seperti jargon milik Forum Sineas Banua.
5. Angan-Angan
Menyelenggarakan Festival Film
Pada
point kelima ini sebenarnya bukan permasalahan yang dapat dilihat secara
general dari dalam diri SP, namun hanya sebagai bentuk saran dan angan-angan
penulis terhadap apa yang harus dilakukan oleh SP kedepannya. Sapakawanan
Project yang berada dalam naungan SMK Negeri 3 Banjarmasin merupakan salah satu
sekolah di Indonesia yang menjadi generasi pertama adanya program keahlian
produksi film. Sapakawanan Project, program keahlian produksi film, dan SMK
Negeri 3 Banjarmasin kemudian menjadi trilogi yang tak terpisahkan dan berjalan
secara harmonis.
Dengan nama besar yang telah ditorehkan oleh SP ini kemudian memberikan dampak positif terhadap citra SMK Negeri 3 Banjarmasin menjadi salah satu sekolah unggulan dan berprestasi dalam bidang film pendek. Sehingga wajar, jika penulis kemudian ingin melihat lompatan yang lebih besar terjadi di SP dan SMK Negeri 3 Banjarmasin. Setidaknya saat satu lustrum berdirinya SP nanti dua tahun yang akan datang, semoga penulis sudah bisa melihat bagaimana SP dapat menyelenggarakan festival film yang representatif untuk film karya pelajar. Melalui penyelenggaraan festival film tersebut setidaknya memberikan berbagai dampak positif, baik secara internal maupun eksternal: seperti terbangunnya ekosistem perfilman untuk pelajar yang lebih masif di Indonesia pada umumnya dan di Kalimantan Selatan secara khusus, Menjadi wadah edukasi dan pengalaman nyata bagi para pelajar SMK Negeri 3 Banjarmasin, dan Meningkatkan citra dan nama baik SMK Negeri 3 Banjarmasin serta sekaligus menjadi kesempatan promosi bagi masyarakat. Meskipun bukan hal yang mudah, namun nyatanya SMA Islam Dian Didaktika melalui Dian Didaktika Film Festival mampu mewujudkan hal tersebut. Kalau mereka saja bisa mengapa kita tidak?
Melalui
perayaan tiga tahun SP ini, jangan sampai hanya sebatas perayaan tanpa adanya
refleksi dan pembenahan internal. Dengan permasalahan transformasi keanggotaan,
watak kemandirian, transparansi dan pengelolaan dana, kaderisasi dan edukasi
keanggotaan, serta angan-angan menyelenggarakan festival film ini menjadi
kesempatan yang baik untuk kembali didiskusikan dan dicari solusi terbaik untuk
kemajuan SP dan kemaslahatan partisan dan simpatisannya yang masih setia hingga
hari ini meskipun dengan status keanggotaan yang tidak jelas.
Melalui
tulisan ini, penulis mengajak kepada seluruh pembaca untuk bisa menyumbangkan
saran dan kritiknya terhadap SP untuk kebaikannya di masa yang akan datang. Akhir
kata, dengan proses pembenahan internal, dukungan pihak sekolah, serta
partisipasi aktif dari seluruh partisipan, simpatisan dan stakeholder terkait,
maka penulis percaya bahwa permasalah-permasalah yang selama ini masih ada
dalam SP bisa dibenahi secara terus-menerus dan memberikan dampak perubahan
yang tak hanya baik, namun juga bermanfaat untuk semuanya.
Bagaimana
menurut warganet yang mulia sekalian?
Komentar
Posting Komentar